Minggu, 24 April 2016

Softskill Council of europa convention cyber crime dan Ruu tentang informasi dan transaksi elektronik ITE




COUNCIL OF EUROPE CONVENTION ON CYBERCRIME

Council of europe convention on cybercrime merupakan salah satu contoh organisasi internasional yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan didunia maya, dengan mengadopsikan aturan yang tepat dan untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam mewujudkan hal ini. Council of europe convention on cybercrime merupakan hukum yang mengatur segala tindak kejahatan komputer dan kejahatan internet di Eropa yang berlaku pada tahun 2004, dapat meningkatkan kerjasama dalam menangani segala tindakan kejahatan dalam dunia IT. Council of europe convention on cybercrime berisi Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU-PTI) pada intinya memuat perumusan tindak pidana.
Council of europe convention on cybercrime juga terbuka bagi negara non eropa untuk menandatangani bentuk kerjasama tentang kejahatan didunia maya atau internet terutama pelanggaran hak cipta atau pembajakkan dan pencurian data. Jadi tujuan adanya konvensi ini adalah untuk meningkatkan rasa aman bagi masyarakat terhadap serangan cybercrime, pencarian jaringan yang cukup luas, kerjasama internasional dan penegakkan hukum internasional. Tujuan utama dari Council of europe convention on cybercrime adalah untuk membuat kebijakan pejahat biasa untuk lebih memerangi kejahatan yang berkaitan dengan komputer seluruh dunia melalui harmonisasi legislasi nasional, meningkatkan kemampuan penegakan hukum dan peradilan, dan meningkatkan kerjasama internasional.
Untuk tujuan ini, konvensi ini mengharuskan penandatanganan untuk :
1.      Menetapkan pelanggaran dan sanksi pidana berdasarkan undang-undang domestik mereka untuk empat kategori kejahatan yang berkaitan dengan komputer : penipuan dan pemalsuan, pornografi anak, pelanggaran hak cipta, dan pelanggaran keamanan seperti hacking, intersepsi ilegal data, serta gangguan sistem yang mengkompromi integritas dan ketersediaan jaringan. Penanda tangan juga harus membuat undang-undang menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana tersebut dilakukan diatas wilayah mereka, kapal atau pesawat udara terdaftar, atau oleh warga negara mereka diluar negeri.
2.      Menetapkan prosedur domestik untuk mendeteksi, investigasi, dan menuntut kejahatan komputer, serta mengumpulkan bukti tindak pidana elektronik apapun. Prosedur tersebut termasuk menjaga kelancaran data yang disimpan dalam komputer dan komunikasi elektronik,sistem pencarian dan penyitaan, dan intersepsi real-time dari data. Pihak konvensi harus menjamin kondisi dan pengamanan diperlukan untuk melindungi hak asasi manusia dan prinsip proporsionalitas.
3.      Membangun sistem yang cepat dan efektif untuk kerjasama internasional. Konvensi ini menganggap pelanggaran cybercrime dapat diekstradisikan, dan mengizinkan pihak penegak hukum di satu negara untuk mengumpulkan bukti yang berbasis komputer bagi mereka yang lain. Konvensi juga menyerukan untuk membangun 24jam, jaringan kontak tujuh hari seminggu untuk memberikan bantuan langsung dengan penyelidikan lintas perbatasan.

Jenis Pidana Yang Diancamkan Terhadap Pelaku Cybercrime Berdasarkan Convention Of Cybercrime

            Kualifikasi kejahatan dunia maya (Cybercrime), sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief adalah kualifikasi cybercrime menurut Convention On Cybercrime 2001 di Budapest Hongaria yaitu :
1)      Ilegal Access   : yaitu sengaja memasuki atau mengakses sistem komputer tanpa hak
2)      Ilegal Interception       : yaitu sengaja dan tanpa hak mendengar atau menangkap secara diam-diam pengiriman dan pemancaran data komputer yang tidak bersifat publik ke,dari atau di dalam sistem komputer dengan menggunakan alat bantu teknis.
3)      Data Interference        : yaitu sengaja dan tanpa hak melakukan perusakan, penghapusan, perubahan atau penghapusan data komputer
4)      System Interference  :  yaitu sengaja melakukan gangguan atau rintangan serius tanpa hak terhadap berfungsinya sistem komputer
5)      Misuse Of Devices      :  penyalahgunaan perlengkapan komputer, termasuk program komputer, password komputer, kode masuk
6)      Computer Related Forgery  : pemalsuan dengan sengaja dan tanpa hak memasukkan mengubah, menghapus data autentik menjadi tidak autentik dengan maksud digunakan sebagai data autentik
7)      Computer Related Fraud   : penipuan dengan sengaja dan tanpa hak menyebabkan hilangnya barang atau kekayaan orang lain dengan cara memasukkan, mengubah, menghapus data komputer atau dengan mengganggu berfungsinya komputer atau sistem komputer dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi bagi dirinya sendiri atau orang lain
8)      Content Related Offences     : delik-delik yang berhubungan dengan pornografi anak
9)      Content Related to Infringements of Copyright and Related Rights: delik-delik yang terkait dengan pelanggaran hak cipta
10)  Isi atau Muatan Konvensi Cybercrime  : konvensi ini berisi tentang beberapa hal, salah satunya adalah tindakan yang harus diambil pada tingkat nasional

CONTOH KASUS :

Tanggal 14 November 2001, polisi di 14 negara melakukan operasi besar-besaran dalam menghadapi pornografi anak. Di Jerman, 93 peralatan disita dan 2.200 orang dalam pemeriksaan dengan tuduhanmemiliki dan menyebarluaskan pornografi anak, dalam penggerebekan ditemukan pula jaringan komputer, video dan berbagai dokumentasi sebagai barang bukti. Penggerebekan untuk hal yang senada dilakukan pula di Switzerland, Austria, Netherlands, Norwegia, Perancis, Belgia,Denmark,Luxemburg, Portugal, Irlandia, dan Amerika Serikat serta Canada.


RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang. 
Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti Uncitral Model Law on ecommerce dan Uncitral Model Law on esignature. Bagian ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. Beberapa materi yang diatur, antara lain: 

1.      Pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE)
2.      Tanda tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE)
3.      Penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE)
4.      Penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE)

Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain: 
1.      Konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE)
2.      Akses ilegal (Pasal 30)
3.      Intersepsi ilegal (Pasal 31)
4.      Gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE)
5.      Gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE)
6.      Penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE)

UU ITE boleh disebut sebuah cyberlaw karena muatan dan cakupannya luas membahas pengaturan di dunia maya, meskipun di beberapa sisi ada yang belum terlalu lugas dan juga ada yang sedikit terlewat. Rangkuman singkat dari UU ITE adalah sebagai berikut :
1.      Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan Rata Penuhkonvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas)
2.      Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP
3.      UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia
4.      Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
5.      Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
• Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
• Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
• Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Teror)
• Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
• Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
• Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
• Pasal 33 (Virus, DoS)
• Pasal 35 (Pemalsuan Dokumen Otentik / phishing)

UU ITE adalah cyberlaw-nya Indonesia, kedudukannya sangat penting untuk mendukung lancarnya kegiatan para pebisnis Internet, melindungi akademisi, masyarakat dan mengangkat citra Indonesia di level internasional. Upaya pemerintah untuk menjamin keamanan transaksi elektronik melalui UU ITE ini patut diapresiasi. Tapi mata dan pikiran juga tetap siaga pada isi peraturan yang berkemungkinan melanggar hak asasi manusia untuk mendapatkan informasi yang berkualitas dan kritis.

UU ini telah jauh melenceng dari misi awalnya yang hendak melindungi perdagangan dan transaksi elektronik. UU ITE malah melangkah jauh dengan mencampuri hak-hak sipil yang merupakan bagian dari kebebasan dasar yang harus dapat dinikmati oleh setiap orang yaitu kemerdekaan berpendapat yang dilindungi UU 1945 dan piagam PBB soal HAM. Setelah sedikit proses analisis, ternyata walaupun sudah disahkan oleh legislative, masih banyak juga yang berpendapat bahwa UU ITE masih rentan terhadap pasal karet, atau pasal-pasal yang intepretasinya bersifat subjektif/individual. Memang UU ini tidak bisa berdiri sendiri, dapat dikatakan bahwa UU ini ada hubungan timbal balik dengan RUU Anti-Pornografi, yang notabene juga sedang gencar-gencarnya dibahas.

Secara umum, ada beberapa aspek yang dilindungi dalam UU ITE, antara lain yang pokok adalah:
1.      Orang secara pribadi dari penipuan, pengancaman, dan penghinaan.
2.      Sekumpulan orang/kelompok/masyarakat dari dampak negative masalah kesusilaan, masalah moral seperti perjudian dan penghinaan SARA.
3.   Korporasi (perusahaan) atau lembaga dari kerugian akibat pembocoran rahasia dan informasi financial juga exploitasi karya.

CONTOH KASUS :
-  Dibeberapa tahun ini banyak kasus yang terjerat oleh UU No. 11 tahun 2008 tentang UU ITE yang dialami oleh beberapa artis indonesia. Banyak kasus public figure yang di edit wajahnya dengan badan yang tidak semestinya. Sebagai publik figur, pasti akan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Ini merupakan tindak kejahatan yang melanggar undang undang (kasus yang telah terjerat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008, Pasal 27 ayat 3 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE))
-   Luna maya dijerat pasal 27 undang – undang ITE karena melecehkan profesi wartawan (bukan jurnalist, kalau jurnalis menulis dengan fakta dan bukti yang nyata, kalau wartawan bisa menulis dengan abstrak yang dalam hal ini kita pandang sebagai ISU) infotaiment dengan kata “pelacur” dan “pembunuh”.

SARAN :
Council of europe convention on cybercrime merupakan hukum yang mengatur segala tindak kejahatan komputer dan kejahatan internet di Eropa dan terbuka bagi negara non eropa untuk menandatangani bentuk kerjasama tentang kejahatan didunia maya atau internet terutama pelanggaran hak cipta atau pembajakkan dan pencurian data. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia.


REFERENSI : 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar